Nepotisme dianggap biasa di sejumlah negara

Rupert Murdoch dan anak-anaknya

Image copyrightGetty
Image captionDua putra raja media, Rupert Murdoch, menduduki jabatan CEO di kerajaan bisnis media itu.
Di manapun kita bekerja di dunia, nepotisme - mengutamakan teman dan keluarga di atas orang lain - mungkin sudah menjadi bagian dari budaya, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Kita bisa mengambil contoh Ana Patricia Botin yang menggantikan ayahnya sebagai pimpinan bank raksasa Spanyol Santander, atau Rupert Murdoch, yang menempatkan dua putranya sebagai CEO di dua perusahaan media, News Corp dan 21st Century Fox.
Contoh lainnya, satu di antara lima anggota parlemen Inggris mempekerjakan anggota keluarga mereka untuk melakukan tugas-tugas pendukung.
Walaupun nepotisme berlaku universal, banyak negara mempunyai sikap terpolarisasi menghadapi nepotisme.
Misalnya, di Amerika Serikat, undang-undang federal melarang pegawai negeri mempekerjakan anggota keluarga, meskipun di sektor swasta praktik itu sah-sah saja. Dan, baik di Amerika maupun di Inggris, bos yang mempromosikan kawan dan anggota keluarga bisa menghadapi tuntutan diskriminasi.

Praktik biasa

Sementara itu di Cina, Komisi Pemberantasan Korupsi secara resmi melarang nepotisme dan korupsi - dengan sasaran beberapa kelompok kecil eksklusif yang dikatakan merajai bisnis-bisnis penting.
Namun di negara-negara lain seperti Italia atau Spanyol, seseorang yang mendapat pekerjaan lewat jalur kekeluargaan atau pertemanan, dan bukannya karena kemampuan, tidak menjadi persoalan. Hal ini masih sering dianggap sebagai ‘praktik biasa.’
Valerie Berset-Price, yang menjadi pendiri perusahaan sumber daya manusia Professional Passport, yang membantu perusahaan mengatasi perbedaan kebudayaan, menceritakan kondisi di negara kelahirannya, Swiss.
“Jika memungkinkan bagi kita untuk merekomendasikan keluarga dan teman, maka kita akan melakukannya. Langkah ini saling menguntungkan untuk menempatkan mereka di dalam jaring pengaman yang erat.”
Namun demikian, ketika Berset-Price pindah ke Amerika Serikat dan menempuh kuliah bisnis di universitas, ia terkesan dengan silabus yang menekankan bahwa nepotisme itu selalu negatif, dan bahkan masuk tindak kejahatan dalam situasi-situasi tertentu.
“Sebelum itu saya benar-benar tidak tahu apa arti kata nepotisme,” katanya.

Perbedaan budaya

Pekerja di IndiaImage copyrightGetty
Image captionDi India, satu lowongan bisa diperebutkan oleh banyak pelamar.
Begitu Berset-Price membuka usahanya sendiri ia juga terkejut bahwa teman-temannya yang memegang posisi tinggi di tempat-tempat lain, misalnya di perusahaan blue chip, tidak ingin merekomendasikan jasa perusahaannya.
“Ini bukan karena mereka tidak menginginkan saya sukses, atau tidak menyukai saya, atau tidak yakin dengan apa yang saya lakukan,” jelas Berset-Price.
“Ini karena berdasarkan kebijakan perusahaan mereka, saya secara serta merta akan digugurkan dari segala macam kontrak karena saya adalah teman mereka.”
Tentu saja persepsi berbeda-beda muncul karena perbedaan budaya. Di negara-negara yang mengenal hubungan kekerabatan sebagai bagian dari budaya yang sudah mengakar, nepotisme cenderung dianggap sebagai cara alami dan cara yang diidam-idamkan untuk saling membantu dan mencapai kemakmuran.
“Di Spanyol hampir tidak ada persaingan untuk memperebutkan pekerjaan,” kata Joe Haslam, seorang pemiliki usaha. Ia, yang bekerja dan tinggal di Milan, Italia, juga duduk sebagai direktur eksekutif program manajemen di Sekolah Bisnis IE, Madrid.
“Pekerjaan tidak pernah dianggap 100% milik kita — tetapi seperti menjaga pekerjaan itu untuk anggota keluarga. Di sini, bila ada anggota keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan maka persoalan itu seperti menjadi masalah bersama — jadi tentu saja sering seorang calon karyawan yang kurang mampu justru diterima karena ia mempunyai koneksi dengan seseorang yang memimpin baik langsung atau tidak.”

Lebih mudah

Partai Komunis CinaImage copyrightGetty
Image captionPartai Komunis di Cina secara resmi melarang korupsi.
Pendekatan ini tentu menawarkan beberapa keuntungan. Seperti yang dijelaskan oleh Haslam, koneksi keluarga mendorong kesetiaan sehingga bos tidak perlu khawatir karyawan berbakat dibajak perusahaan lain. Di samping itu, lebih mudah (dan lebih murah) merekrut seseorang yang sudah dikenal di lingkaran kita dibandingkan harus membuka lowongan.
Namun setiap tindakan nepotisme dapat merugikan perekonomian secara keseluruhan. Sebagai contoh, nepotisme dapat menyurutkan niat investor asing. Berdasarkan Laporan Antikorupsi Uni Eropa edisi tahun 2014, 67% investor menganggap nepotisme sebagai “masalah sangat serius atau cukup serius” ketika mengoperasikan perusahaan di Yunani.
Yang lebih serius, berdasarkan hasil penelitian, korupsi yang identik dengan nepotisme dapat memperpendek harapan hidup. Tingkat kematian anak di negara-negara yang kental dengan korupsi tercatat sepertiga lebih tinggi dibandingkan dengan di negara-negara dengan tingkat korupsi rendah.
Di tataran individu, persoalan timbul ketika kita tidak mempunyai koneksi keluarga. “Di Italia, kita perlu mengenal seseorang untuk mendapatkan pekerjaan,” kata pemilik perusahaan real estat, Gabriel Fabrizio Sbalbi.
“Ini terjadi pada lulusan perguruan tinggi tanpa koneksi. Dan akibatnya, orang-orang muda berpendidikan tinggi (jumlahnya sekitar 60.000 per tahun atau tujuh di antara 10 orang berpendidikan sarjana) meninggalkan Italia untuk mencari pekerjaan di tempat lain.”

Menghalangi bakat

Sbalbi yakin pengangguran tinggi menjadi faktor utama dalam eksodus ini. Tingkat pengangguran di kalangan angkatan kerja muda mencapai rekor 44,2% pada bulan Juni 2015. Tetapi sistem patron yang meluas ini juga punya andil.
Sebuah survei tahun 2013 dari Kementerian Tenaga Kerja Italia menunjukkan bahwa 61% perusahaan mengandalkan perkenalan pribadi untuk mengisi lowongan, dan Sbalbi berkata bahwa di sektor publik sebagian pos pada dasarnya adalah diisi turun-temurun.
Kita bisa menilik kasus terkenal di negara itu yang disebut sebagai “pintu gerbang keluarga”. Disebutkan bahwa di Universitas Palermo lebih dari 50% populasi akademik memiliki setidaknya satu anggota keluarga yang bekerja di lingkungan perguruan tinggi itu.
Meskipun sah-sah saja mempekerjakan rekan dan keluarga yang mempunyai kemampuan yang tepat, jika syarat utama yang mereka penuhi hanyalah koneksi maka praktik itu memblokir orang-orang dengan keterampilan tinggi masuk ke pasar kerja, kata Jane Sunley, pendiri perusahaan Purple Cubed yang berkantor di London.
“Ini dapat merusak budaya perusahaan karena orang-orang yang kaya akan gagasan baru dan keterampilan teknologi tak punya kesempatan. Juga, karena di pasar global kita berhubungan dengan bermacam-macam orang, kenyataan itu akan sulit apabila seluruh staf berasal dari latar belakang yang sama.”
Apakah Anda muak dengan nepotisme di tempat tinggal Anda?
Anda dapat mengikuti jejak mereka yang eksodus ke negara lain di mana kontrak kerja tidak dianggap penting. Itulah yang dilakukan Sbalbi ketika terjadi resesi tahun 2008 dengan meninggalkan Italia untuk mendirikan perusahaan real estat di Meksiko. “Tak seorang pun tahu saya atau perusahaan saya, tetapi mereka tetap datang ke kami untuk melakukan pemesanan karena mereka tahu kualitas yang kita tawarkan,” katanya. “Kalau itu terjadi di Italia, kita harus mengubah budaya keseluruhan.”
Bila Anda tertarik membaca artikel ini dalam bahasa Inggris, Where a job is never regarded as 100% yours, silakan kunjungi BBC Capital.
  • Sumber : http://www.bbc.com
  •                 :  Matt Chittock
  •                 : BBC Indonesia

0 Response to "Nepotisme dianggap biasa di sejumlah negara"

Post a Comment