Warga menyusuri jalan ke rumahnya mengunakan perahu di Desa Lhok Seutang, Kecamatan Julok, Aceh Timur, Aceh.
Warga menyusuri jalan ke rumahnya mengunakan perahu di Desa Lhok Seutang, Kecamatan Julok, Aceh Timur, Aceh. (Antara/Syifa Yulinnas)
Banda Aceh - Sepuluh tahun berlalu pasca penandatangan kesepakatan damai antara pemerintah pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ternyata masih ada sejumlah utang pemerintah masa lalu yang belum direalisasikan, menurut Gubernur Aceh Zaini Abdullah.
Di hadapan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) saat puncak acara peringatan 10 tahun peringatan damai, Zaini menagih sejumlah janji sebagaimana kesepakatan 10 tahun lalu.
"Mungkin sekarang juga dan masih dalam berdialog antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat tentunya. Di sini, ada pak wapres yang berdialog sama-sama bahkan berdialog dengan presiden tentang peraturan-peraturan yang belum selesai. Kita harapkan sepulangnya bapak, mudah-mudahan kita segera dapat solusi yang berbaik untuk regulasi itu," kata Zaini dalam sambutannya di Taman Sri Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, Aceh, Minggu (15/11).
Zaini menyebut setidaknya ada tiga regulasi penting untuk penguatan otonomi Aceh yang tengah ditunggu pengesahannya. Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) tentang penetapan badan pertanahan sebagai aparat daerah. Kedua, Peraturan Menteri (Permen) tentang sistem bagi hasil minyak dan gas (migas). Ketiga, PP tentang kewenangan pemerintah Aceh yang bersifat nasional.
Zaini mengungkapkan peraturan mengenai bagi hasil migas yang berada diantara 12 mil dan 200 mil dari lepas pantai sudah disetujui, sehingga tinggal menunggu realisasi bagi hasil yang baru disahkan, yaitu 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk pusat.
"Kami meyakini semua regulasi dan kebijakan yang diamanatkan oleh UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan MoU (Memoradum of Understanding) Helsinki, mudah-mudahan akan terealisir dalam waktu yang secepatnya," ujar Zaini.
Selain itu, Zaini mengungkapkan bahwa memelihara perdamaian membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena terkait dengan kesejahteraan. Sehingga, secara tidak langsung meminta perhatian dari pusat.
"Untuk memelihara ini (perdamaian) memerlukan uang yang lebih banyak atau lebih berat berat lagi dibandingkan untuk mencapai perdamaian itu sendiri. Ini ibarat bunga yang tidak diberi siraman air tentunya akan layu, maka bunga yang sudah berkembang ini marilah kita siram hari demi hari," paparnya.
Untuk itu, lanjut Zaini, masyarakat Aceh menunggu pemerintah realisasi nyata dari kesepakatan perdamaian yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 silam.
Minta Dorongan
Lebih lanjut, secara khusus kepada JK, Zaini meminta bantuan agar mendorong sejumlah regulasi yang masih menggantung. Di antaranya, mengenai Komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) Aceh, pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh, serta pembentukan Komisi Bersama Penyelesaian Klaim.
"Kami mohon bapak wapres berkenan mendorong agar masalah itu (aturan menggantung) bisa tuntas. Sehingga, perdamaian Aceh berjalan sempurna dan masyarakat Aceh puas atas capaian yang telah ada," katanya.
Seperti diberitakan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 23/2015 tentang Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh menjadi Badan Pertanahan Aceh, yang ditandatangani pada tanggal 12 Februari 2015.
Kemudian, telah juga diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3/2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh. Di antaranya, menyangkut 21 kewenangan yang diserahkan pemerintah kepada Aceh.
Pada Juni 2015, pemerintah juga akhirnya menerbitkan PP Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Migas di Aceh. Sehingga, pemerintah pusat dan Pemda akan secara bersama-sama mengelola wilayah kerja migas yang berada di darat ataupun perairan dengan cakupan area 12 mil sampai 200 mil di Aceh.
Sedangkan, aturan mengenai bendera Aceh, tuntutan mengenai pembentukan KKR Aceh, pengadilan HAM memang belum dimuluskan oleh pusat.
Suara Pembaruan
Novi Setuningsih/HA
Suara Pembaruan